Saya berkesempatan ke Papuma jauh sebelum saya tinggal di Pulau Merah, Banyuwangi. Tepatnya saat saya masih jadi karyawan
PT Harfam Jaya Makmur yang lokasinya di Bondowoso. Mau tau lokasi tepatnya? Nih:
Harfam itu perushaan investasi di bidang kehutanan. Budidaya Jati. Akhirnya, saya berkesempatan untuk tinggal di Bondowoso selama saya jadi karyawan Harfam. Tahunnya kalau gak salah 2014. Di situ dulu, liburnya cuma hari Minggu. Dan saya waktu itu masih tinggal di Surabaya, meninggalkan istri saya yang sedang hamil. Pulang seminggu sekali. Nah, suatu kesempatan, saya ijin ke istri untuk tidak pulang minggu itu. Saya ingin sedikit melepas penat untuk pergi ke pantai. Maklum, dulu waktu di Harita, lokasi kerja amat dekat dengan pantai. Pantai sudah terlanjur jadi kawan akrab saya. Direncanakanlah pergi ke Jember dengan beberapa kawan,
Pak Eka,
Pak Hervian dan kawannya, Pak Dadang, dan
Pak Argha yang tidak lain adalah saya sendiri 👀
Saya dan Pak Eka berangkat dari Bondowoso dengan bermodal motor matic pinjaman. Dari Bondowoso kami bergerak ke selatan menuju Jember. Sore sepulang kerja, kami sudah cus ke Jember. Bermalam di rumah seorang kawan, Mas Feri namanya. Beliau orang yang baik, menerima dan menghidupi kami selama di sana. Tapi saya yang jahat, PHP karena mau ngasi batu yang sampai sekarang belum saya kasi.
My bad.
Menjelang pagi, kami bersiap menuju Papuma. Sepanjang jalan, saya tidak sempat menghafal nama-nama toko. Apalagi nama semua orang yang kami lewati. Tiba-tiba saja, motor yang saya kendarai masuk ke area hutan Jati. Dari situ, kondisi jalan mulai tidak bersahabat. Bisa dibayangkan, motor matic dengan penumpang dua orang yang berat rata-rata 70 kg melewati jalan dengan aspal yang terkelupas dan memunculkan pondasi batuan yang lancip di bagian bawah. Yang pasti, sering terdengar bunyi
jedug jedug aja yang asalnya dari bagian bawah motor. Pelan-pelan motor saya kemudikan. Tak lama, sampailah kami di persimpangan jalan. Kiri ke Watu Ulo. Kanan ke Papuma.
Ambil jalan Kanan.
|
Ikon Papuma. Batu yang menjulang di laut. |
Mulai dari persimpangan itu, jalan kembali mengulurkan tangan, tanda ingin kembali bersahabat dengan kami. Jalan mulai menanjak dengan diiringi pohon jati yang daunnya meranggas. Sampai di puncak jalan, pemandangan yang tersaji sangat indah. Saya ingin turun untuk mengabadikan, tapi saya pula yang mengurungkan niat dan mengatakan "nanti aja lah pas pulangnya". Hal ini yang menyebabkan, sampai sekarang saya tak punya foto Papuma dari atas. Menunda pekerjaan.
Sampai kami di Papuma, yang pertama kami satroni adalah warung kelapa muda.
|
Pak Argha dan Pak Eka |
Lalu, agak sedikit kecewa karena mendung semakin datang, saya serahkan saja kamera Nikon D3100 saya ke seorang kawan yang ingin belajar motret.
Papuma adalah sebuah singkatan. Pasir Putih Malikan. Strategi yang baik, seperti Wakatobi yang juga singkatan. Pantai di sini cukup panjang dengan pasir putih yang lembut. Sekilas, batu yang menjulang di laut mirip seperti
Pulau Merah di Banyuwangi. Bahkan kawan saya sempat terkecoh sewaktu saya berpose di depan ikon Papuma dengan gaya khasnya Om Regy. Dikira itu adalah Pulau Merah. Saking miripnya.
|
Pose melengkung saat perut belum sebuncit sekarang 😓 |
Sorenya, setelah sempat turun gerimis rintik-rintik, kami berlarian di pantai. Mengabadikan sebanyak-banyaknya momen. Juga belajar teknik memotret.
|
Pak Argha 😹, Pak Hervian, dan Pak Dadang |
Seperti pertama kali mendarat di Obi, di Papuma saya juga menuliskan di pasirnya yang putih bahwa saya pernah ke sini. Walaupun tulisan di pasir akan hilang disapu ombak, tapi fotonya kan masih ada.
|
I was there |
Satu hal yang saya perhatikan kalau sebuah lokasi wisata dikelola oleh sebuah badan usaha milik negara adalah minimnya fasilitas umum. Padahal kalau menurut saya, lokasi wisata semacam ini akan menjadi pemasukan yang besarnya lumayan untuk Perhutani. Sambil menunggu masa panen pohon yang tidak sebentar, apa salahnya membangun akomodasi dan fasum lain yang bisa meningkatkan nilai jual. Bisnis kehutanan tak melulu bicara tentang kayu,
keleus. Salah satu yang masih belum diperhatikan adalah potensi jasanya. Salah satunya adalah untuk wisata. Ya semoga di tahun ini dan ke depan, fasum yang tidak tersedia di Papuma sudah diadakan. Alhamdulillah kalau memang sudah lebih lengkap sekarang.
Untuk tiket masuk, tahun 2014, satu orang dikenai tarif 15.000 rupiah. Cukup terjangkau lah. Warung juga banyak tersedia. Kalau penginapan, saya rasa waktu itu belum ada. Entah kalau sekarang.
|
Run Papuma, Run! |
Saran kalau ke sini, dan tujuannya untuk ambil foto, usahakan sore saja. Karena saya sering melihat beberapa hasil jepretan dari orang yang saya follow di Instagram, Papuma sangat indah kalau pas senja dan dipadukan dengan teknik
long exposure yang tepat.
Papuma, suatu saat saya pasti mengunjungimu lagi.
Komentar
Posting Komentar