[Cuti Kemana] Pantai Coro

Fotografer: Angga Putra Pratama


Allahuakbar. Allahuakbar. Allahuakbar.
Laa illaha illallah huwaallahuakbar.
Allahuakbar walillahil hamd.

Tanggal 15 Juni 2018 kemarin, umat muslim seluruh dunia merayakan hari kemenangan. Iedul Fitri. Setelah menempuh ibadah puasa selama sebulan, ada yang penuh dan ada yang tidak. Biar itu jadi urusan masing-masing individu dengan Tuhannya. Tidak perlu menghakimi dan yang jelas tidak perlu repot, toh tulisan saya ini bukan membahas tentang keagamaan. Kan, judulnya cutikemana, jadi ya khusus untuk kegiatan cuti saja. 😁
Momen lebaran, dulu kala, menjadi momen yang sakral bagi para perantau. Setidaknya banyak dari para perantau harus menunggu setahun untuk pulang kampung, yang biasanya dibarengkan dengan hari raya. Tentu juga ada yang tidak bisa pulang setahun sekali. Ada yang dua tahun sekali, atau bahkan lebih. Bertemu dengan keluarga; Ayah, Ibu, Mertua, dan saudara lain, adalah hal yang paling dinantikan. Dulu, libur lebaran terasa amat cepat karena padatnya waktu dalam satu hari. Keluarga sini, keluarga sana, berangkat pagi pulang petang. Mengikat kembali perjumpaan yang tertunda. Nah seiring berjalannya waktu, juga dibarengi dengan perkembangan teknologi, menyebabkan perjumpaan hanya sebatas berkirim foto dan ucapan via aplikasi perpesanan; WhatsApp, BBM, Line, dsb. Mau tidak mau, sifat wajib yang dulu ditanamkan di benak kami oleh para orang tua, lama-lama bergeser. Jadi kurang wajib. Tahun ke tahun semakin berkurang kunjungan secara fisik. Jadilah hari lebaran jaman now terasa lebih panjang. Karena banyaknya waktu yang kosong. Kemudian tren yang terjadi adalah, untuk mengisi kekosongan waktu, berkunjunglah orang-orang ke tempat-tempat wisata di daerahnya masing-masing. Apalagi dengan promosi wisata yang sangat gencar dilakukan para netizen, mulai selebgram hingga blog-blog wisata, membuat pilihan destinasi wisata menjadi semakin beragam. Beberapa, wisata yang ditawarkan masih sangat 'mentah'. Mulai akses jalan hingga ke fasilitas pendukung. Nah, paragraf di atas adalah intro atau pembuka atau (bisa juga disebut) alasan saya dan keluarga jalan-jalan ke Pantai Coro yang ada di Tulungagung. Pantai yang menuju ke sana dibutuhkan tenaga ekstra.





Pantai Coro. Saya kurang mengerti kenapa dinamakan coro. Entah mana yang benar antara pelafalan huruf "O" dalam Coro itu seperti pengucapan "orang (1)" atau seperti pengucapan "kos-kosan(2)". Kalau seperti pelafalan pertama (1) berarti kalau di-bahasa Indonesia-kan berarti "kecoa". Tapi kalau seperti pelafalan kedua (2) berarti "cara". Saya sempat menanyakan hal ini kepada salah seorang ibu pemilik warung yang ada di sana. "Wah mboten ngertos, Mas. Pokoke pas kulo sadean dateng mriki, namine sampun Coro (2)" (Wah tidak tau, Mas. Pokoknya waktu saya mulai jualan di sini, sudah dinamakan Pantai Coro) begitu jawaban si ibu. Ah saya tidak memperpanjang ada apa di balik nama coro ini. Saya tinggal menikmatinya saja. Toh apalah arti sebuah nama. Yang penting, di sini tidak banyak coro atau kecoa.
Pantai Coro tampak dari sisi barat 
Seperti beberapa lokasi wisata yang baru atau hits, harus ada upaya yang lebih untuk mencapainya. Setelah melewati gerbang retribusi wisata untuk pantai popoh, saya dihadapkan jalan bercabang berbentuk Y. Kanan menuju Pantai Popoh. Kiri menuju Pantai Coro. Jalannya kecil dan banyak lubang di sana sini. Setelah melewati kawasan Retjo Pentung, sampailah kami di area parkir Pantai Coro.
Area parkir
Dari sana, kami di arahkan oleh warga pengelola untuk menuju ke arah jalan pantai coro. "Jalan kira-kira 2km pak" info dari warga yang menyamar jadi tukang parkir itu. "Waduh, gimana ibuk e nih," pikir saya. Ibuk e adalah panggilan kami kepada Nenek. Jalan 2 km bagi para pemuda mungkin biasa, tapi untuk lansia berarti petaka. Benar saja, setelah melewati tanjakan pertama lalu disambut oleh hutan jati yang sedang meranggas, ibuk e berpikir dua kali untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Saudara sedang menghibur dan menyemangati Ibuk e.
Hutan jati.
Untung saja setelah sampai di pos retribusi untuk masuk ke pantai coro, tersedia jasa ojek. Dengan sedikit meyakinkan ibuk e bahwa semua akan baik-baik saja dan driver ojek akan sangat pelan serta hati-hati, akhirnya beliau mau lanjut bersama mas ojek. Nasib anak saya gimana? Tenang, ada ojek panggul. Haha.
Posko retribusi

Turunan belakang posko
Jalan menuju kebenaran 😆

Ojek panggul 😂
Kondisi ini adalah salah satu yang tidak saya perhitungkan ketika bersama saya, ada ibuk e yang sudah lanjut usia. Semoga Tuhan memaafkan saya atas yang satu ini. Setelah melewati turunan lalu berlanjut dengan tanjakan terakhir, suara debur ombak dan aroma laut sudah sampai di telinga dan hidung saya. Keringat yang keluar selama berjalan terbayar. Laut biru, pasir putih, bukit nan hijau menyambut saya dan keluarga.

Pemandangan di akhir perjalanan
Who is The Bos?
Anggota keluarga langsung bermain pasir dan ombak. Anak saya? Jangan ditanya kalau urusan main air. Tanpa disuruhpun, berlari dia mendekati ombak. Saya? Segera menginstruksikan sepupu untuk mengambil kamera beserta jajarannya; tripod, filter, serta wire-trigger. Bersiap mengajari teknik long-exposure. Karena tujuannya bukan untuk hunting foto, jadinya kami tidak memburu sunrise, pun sunset. Hanya sekedar membuat halus pergerakan ombak biar terlihat seperti kapas.

Menurut info yang saya dapat dari internet, point of interest di lokasi ini ada dua. Pantai dan bukit. Bukit ini berakhir langsung di laut, jadi kenampakannya tebing yang curam. Namanya Tebing Banyu Muluk. Saya langsung mengajak sepupu untuk menuju ke sana. Ada jalan setapak di sebelah timur pantai coro untuk menuju lokasi ini. Sebelum menuju puncak bukit, ada hamparan karang yang cukup datar untuk dipijaki. Sedikit berpose dengan berlatar belakang pantai coro masih boleh lah. 
Tapi bagi kawan-kawan yang hendak berkunjung dan berpose di spot ini, harap meningkatkan kewaspadaan. Karena tekstur karang yang tidak rata dan tajam akan membuat gerakan-gerakan kaki menghindar dengan refleks, yang kalau tidak memerhatikan pijakan berikutnya akan bisa berakibat fatal. Jadi keselamatan tetap jadi prioritas. Berlanjut, sebuah tanjakan menguji sekali lagi kesungguhan kami. Rugi kalau jauh-jauh datang hanya untuk berdiam dan tidak mengeksplor.
Bukit nan hijau menyambut kami di ujung tanjakan
Tak lama, sampailah kami di bukit yang dipenuhi rumput nan hijau. Oiya kalau berkunjung ke perbukitan, jangan sampai salah waktu. Maksudnya, kalau ingin dapat foto dengan background bukit hijau, jangan ke sana waktu puncak kemarau. Niscaya rumput hijau yang didambakan akan berubah menjadi coklat. Atau bahkan sampai gundul. Seperti Pulau Padar contohnya. Nah, beruntungnya saya adalah bulan Juni tahun ini merupakan awal musim kemarau. Jadi kadang masih ada hujan. Jadi bukit yang kami tuju ya hijau.
Pulau Padar di musim kering (Sumber: ikanbijak.wordpress.com)
Menurut saya, bukit ini lebih menarik. Entah karena saya terlalu bosan dengan pantai, atau karena timing-nya yang membuat perbukitan hijau jadi lebih menarik. Langit yang cerah di siang bolong akan membuat semua warna muncul. Kalau difoto jadi lebih bagus daripada foto pantai pas matahari lagi terik-teriknya. Akan terasa hambar tanpa ada warna warni.
Di atas bukit, ada bendera Indonesia yang berkibar gagah tertiup angin laut. Saya segera mendekatinya, sedikit menunduk sambil hikmat mengheningkan cipta mengenang betapa dahulu untuk sekedar mengibarkan, cucuran darah menjadi taruhan.
Hormat kepada bendera Indonesia.
Saya penasaran, kenapa bukit ini dinamakan Tebing Banyu Muluk. Setelah mengambil foto dan berpose sembarangan, akhirnya saya tau. Ternyata ada satu titik di lokasi ini yang kalau kena ombak, airnya muncrat ke atas. Hampir sama seperti di Water Blow, Nusa Dua - Bali.
Proses keluar jin 😹
Oiya selain pantai coro ini, sebenarnya ada 1 lagi lokasi yang menurut saya apik. Lokasinya di dekat parkiran mobil. Di sisi selatan ada anak tangga yang menuju ke bawah, ada anak panah yang menunjukkan ke bawah sana dan tertulis kalau itu adalah lokasi penaburan abu jenazah.

Setelah lelah melalui perbukitan yang tadi berangkat kami lewati, yang menjadi otomatis pulangnya juga melewati jalan itu, sebenarnya kami enggan untuk turun ke area penaburan abu. Tapi karena rasa penasaran dan tertantang karena saudara sedikit meremehkan fisik saya, akhirnya turun lah kami ke sana. Tidak terlalu jauh. Kira-kira 200 meter kami sudah sampai. Di sana ada sebuah bangunan pendopo untuk sembahyang umat hindu.
Jalan menuju pendopo terbuat dari paving block


Ada semacam pipa besar yang menghubungkan antara pendopo dengan laut yang ada di bawah. Pemandangan yang indah dan tak merugikan setelah menempuh jalan yang lumayan melelahkan ini.
Lalu di sisi timur ada lagi tangga yang mengarah ke goa. Banyak terdapat dupa bekas persembahyangan umat hindu.
View dari tebing

Pipa untuk larung abu jenazah
Oiya rupanya yang membangun pendopo ini adalah PT Gudang Garam. Dibangun tanggal 18 Mei 2010.
Prasasti Gudang Garam 😆
Jalan menurun menuju tempat peribadatan

Pose cowok ganteng

Pose cowok pas-pas an 😴
Agar lebih bermanfaat lagi, saya tambahkan biaya apa saja yang dikeluarkan untuk menuju di sini. Sampai di pos retribusi awal, di gapuranya tertulis pantai wisata popoh, itu tiket masuk per orang 10.000 rupiah. Saya kemarin ke sana bersepuluh jadi habis 100.000 rupiah saja. Lalu ada biaya parkir di pantai coro, standar lah 5.000 rupiah. Saya kira sudah itu aja, eh ternyata setelah melewati hutan jati, kita disambut oleh posko yang menarik retribusi untuk masuk ke pantai coro. Posko ini sekaligus sebagai tempat mangkal ojek. Tiket untuk masuk ke pantai coro hanya 5.000 rupiah saja, itupun kami kemarin masih dapat diskon. Sepuluh orang hanya membayar 40.000 rupiah. Sedangkan untuk ojek, bagi yang membutuhkan, biayanya 20.000 kalau kita pesan dari parkiran mobil sampai ke pantai. Setengah harga berlaku untuk yang menggunakan jasa ojek dari posko retribusi pantai coro sampai ke lokasi. Hanya 10.000 rupiah. Semua itu berlaku sebaliknya, dari dan menuju.

NB:
Pertimbangkan usia ketika ingin mengunjungi pantai ini. Kalau sambil bawa lansia dan balita di bawah 3 tahun, saran saya jangan dulu ke sini. Kapan-kapan saja berdua. Jangan rame-rame.

Komentar

  1. Kok horor ngono bro, ada tempat penaburan abu jenazah?
    Masih aktif kegiatan itu? ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya masih aktif, karena masih kecium bau dupa di goa tempat persembahyangan..

      Hapus
    2. kamis besok tgl 18 juni 2020 aku bersama kakak ku perempuan bkln ke goa lagi mungkin nginep sehari di pendopo klu tdk di dlm goa

      Hapus
  2. lebaran thn 2019 hri rya pertama lngsung cuz kesitu 3 hri 2 mlm tidur di pendopo bersama kakak aku perempuan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sambel Tumpang: Kuliner Kediri yang harus dicoba

[Review] Fujifilm X-70

[Cuti Kemana] Serunya Bermain Salju di Panama Park Bandung