[RESENSI] Trilogi Rara Mendut

Oiya, karena pandemik, akhirnya saya kembali menulis. Terimakasih Covid.

Sebenarnya, buku trilogi Rara Mendut oleh YB Mangunwijaya ini sudah lama saya miliki. Tapi finisingnya yang belum. Tinggal buku terakhir saja yang belum tamat. Ah, payah sekali. Itu karena saya terlalu sibuk dengan komunitas baru, STHolics.

Paragraf di atas adalah paragraf saat saya menulis draft tulisan ini tahun lalu. Iya, TAHUN LALU. Dan baru selesai sekarang. Jadi, untuk sekarang, saya sudah menyelesaikan trilogi ini. Alhamdulillah ya.


Buku ini terdiri dari 3 judul, ya iyalah kan namanya Trilogi. Buku pertama judulnya Rara Mendut, buku kedua judulnya Genduk Duku, buku ketiga judulnya Lusi Lindri. 

Rara Mendut berlatar jaman kerajaan Mataram yang sedang jaya-jayanya, membuat salah satu daerah di pesisir mau tidak mau harus takluk setelah tumenggungnya meregang nyawa karena memilih untuk bebas dan tidak terikat dengan Mataram. Dari situ, mutiara terpendam bernama Rara Mendut yang sebelumnya diboyong oleh tumenggung yang kalah perang itu, kembali menjadi perempuan rampasan perang oleh Mataram. Ia diboyong menuju pusat Mataram dan dijadikan sebagai selir Tumenggung Wiraguna. Perempuan yang dari kecil berkawan dengan laut, tumbuh menjadi perempuan dewasa yang lincah dan trengginas. Ia hanya mengenal kata bebas, semewah apapun istana, merupakan kurungan yang hanya berbeda fasilitas saja. Dengan pengalaman masa kecilnya yang bisa dibilang dirampas oleh orang yang memiliki kuasa, sifat tidak bisa diaturnya semakin menjadi-jadi. Bahkan Wiraguna sampai kuwalahan menghadapi Rara Mendut.

Genduk Duku, buku kedua dari trilogi ini, berisi kisah yang tidak jauh berbeda dari buku pertama. Genduk Duku adalah seorang pengawal kecil Rara Mendut ketika berada di Kadipaten Pati. Genduk Duku berumur lebih muda daripada Rara Mendut. Sifatnya pun bisa dibilang lebih tenang, namun jangan sekali-sekali memberikannya seekor kuda. Tubuhnya yang ramping akan dengan lincah mengimbangi derap langkah kuda yang tengah berlari. Setelah kematian Rara Mendut, Genduk Duku melanjutkan hidupnya di lingkaran dalam kerajaan. Setting waktu buku kedua ini adalah ketika Raden Mas Jibus menjadi penguasa Mataram. Sifat masa kecilnya yang "cabul" semakin menjadi-jadi saat ia mendapat singgasana dan mahkota. Bahkan banyak darah tertumpah hanya karena menuruti sifatnya yang buruk itu.

Lusi Lindri, buku ketiga dan terakhir dari trilogi ini. Sama seperti buku sebelumnya, judul buku ini juga merupakan nama dari tokoh utama yang akan diceritakan di dalam buku. Lusi Lindri adalah anak dari Genduk Duku dari hasil perkawinannya dengan Slamet. Jika di dua buku sebelumnya, tokoh utamanya menghindari kehidupan keraton, justru Lusi Lindri ini dengan postur tubuh serta ketangkasannya, menjadikan dia seorang pengawal elit raja, Trinisat Kenya. Di buku terakhir ini, kekonyolan Raden Mas Jibus semakin menjadi-jadi. Berawal dari pembantaian santri serta pengasingan beberapa tokoh penting yang memiliki jasa besar terhadap Mataram, membuat pemberontakan-pemberontakan mulai bermunculan. Situasi semakin kacau ketika Sang Raja justru memperlihatkan keberpihakannya kepada bangsa asing. Di buku ketiga ini, pembaca disuguhi bagaimana pada akhirnya Mataram jatuh setelah kemegahannya menguasai nusantara.  

Dengan membawa tema kerajaan, YB Mangunwijaya mengantarkan kita pada pengalaman bagaimana kerasnya hidup di zaman itu; intrik-intrik antar keluarga kerajaan, eksploitasi wanita, serta politik-politik praktis yang bahkan hingga saat ini kita lihat. Mataram, bagaimanapun pernah berkuasa di Nusantara, bahkan pengaruhnya bisa sampai ke negeri jauh. Gaya bahasa yang tidak terlalu rumit serta alur cerita yang diselingi dengan kisah cinta serta pengabdian membuat novel ini tak mudah bosan ketika dibaca. Bahkan istri saya sering komplain karena beberapa kali saya boker dengan membawa novel ini. 😁

Menurut saya, buku ini wajib dibaca oleh para generasi 2000an agar mereka gak buta-buta banget lah tentang sejarah. Atau minimal gak ada twit lucu lagi yang menanyakan "Siapa sih Pramoedya Ananta Toer? Palingan juga penulis baru, belagu bener" saat buku pertama dari tetralogi burunya hendak dijadikan film. Yah, setidaknya jangan malu-maluin diri sendiri lah. 

Okey, akhirnya selesai juga tulisan ini. Semoga sedikit membantu kawan-kawan yang mau beli buku ini di toko buku dan sedang mencari referensi. Ada banyak sekali kekurangan di resensi ini, wajar ah saya bukan penulis atau reviewer, jadi ya beginilah tulisan saya.

Terimakasih bagi yang sudah mampir.
Gracias. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[RESENSI] BUKU: Kura-Kura Berjanggut

[EXTRA] Keuangan

[Cuti Kemana] Serunya Bermain Salju di Panama Park Bandung