[Cuti Kemana] Kawah Ijen
Hamdalah.
Pukul 03.00 WIB kami tiba di bibir kawah
Gunung Ijen. Angin sedang semangat-semangatnya bertiup. Hawa dingin serta aroma
belerang menyergap bersamaan, membuat tukang masker semakin gencar menawarkan maskernya untuk pengunjung.
Grup
WA “Goes to Ijen” tiba-tiba muncul di WhatsApp saya. Created by Chiko, di dalamnya ada Pak Angga dan Pak Hendra, selain
saya dan Chiko tentu saja. Mereka adalah kawan saya semasa kerja di Kalimantan.
Sesuai judulnya, trip ke Ijen segera di jadwalkan. Tanggal 22 September 2018.
Saya
mengimpikan naik ke Ijen sudah sejak 2014 yang lalu, saat saya masih jadi
karyawan PT Harfam. Karena beberapa hal di tahun itu, termasuk kondisi istri
yang sedang hamil, akhirnya saya mengurungkan niat. Lalu 2017 lalu juga pernah,
tapi tidak ter-planning dengan baik.
Sampai di Paltuding sudah jam 10 siang, kondisi hujan pulak. Sial. Tapi, sabar
adalah hal yang harus dilakukan umat, menunggu Sang Khalik memberi kesempatan.
Dan kesempatan itu tiba.
Sabtu sore setelah selesai meeting, saya bergegas mengemas barang
lalu menuju mess. Tidak banyak barang yang saya bawa, hanya satu pasang baju
ganti dan celana pendek. Mobil sudah diantar oleh kawan yang baik hati, lalu
kami meluncur. Pukul 20.00 kami sampai di Kota Banyuwangi, cari tempat
nongkrong di Restoran milik Dialoog Hotel. Katanya hotel itu milik Pak Anas,
Bupati Banyuwangi. Tempatnya oke, dengan infinity
pool yang sering membuat calon pengunjung tertarik, lalu ada mini stage yang waktu saya ke sana ada live music. Rate-nya lumayan kalau bagi saya yang karyawan biasa-biasa saja.
Setelah
hampir 3 jam kami menikmati duduk-duduk di restoran Dialoog Hotel, kami
berangkat ke Ijen. Tidak begitu jauh. Hanya 2 jam perjalanan, bisa kurang
tergantung skill mengemudi anda. Sepanjang perjalanan, gelap total. Karena saya
tidur. Hehehe. Saya baru bangun ketika mobil sudah terparkir dengan posisi
mundur di Paltuding. Lalu hawa dingin langsung menyergap saya. Penjual tutup
kepala, sarung tangan, dan syal langsung mendatangi kami. Bagi kawan-kawan yang
ingin naik ke Ijen tapi gak punya tutup kepala dll, tidak usah khawatir,
pedagang-pedagang di Paltuding akan dengan ikhlas membantu anda. Harganya tiap
pedagang sama, jadi bagi buibuk yang hobi nawar dan ninggal pergi, mending gak
usah. Daripada kaku kedinginan, mending beli aja. Murah aja, tutup kepala hanya
Rp 25.000, sarung tangan Rp 10.000, syal Rp 35.000, lalu ada senter yang saya
gak tau berapa harganya. Maafkeun.
Setelah tanjakan berbentuk S di warung itu
kami lewati, jalan mulai melandai. Tapi ada masalah lain, asap belerang menutup
sepanjang jalan menuju puncak. Mau tidak mau, syal dan apapun kami pakai untuk
menutup hidung. Mungkin embun dan angin membuat asap belerang yang dihembuskan
justru turun. Kami berjalan dengan hati-hati, mengingat track yang sempit berupa kerikil serta jarak pandang yang terbatas.
Tiket sudah di tangan, tinggal menunggu
gerbang dibuka. Kira-kira jam 01.00, gerbang sudah dibuka dan kami mulai jalan.
Bisa dibilang, track ke Ijen lumayan
menantang. Setelah pos 2, jalan mulai menanjak. Tidak ada landai-landainya.
Kondisi itu sampai di warung yang ada di setengah perjalanan menuju kawah.
Sampai-sampai setiap 10 menit saya dan Pak Hendra berhenti untuk menunggu Pak
Angga yang jalannya mulai terseok-seok. Bahkan, rayuan bau mi rebus terus kami
hembuskan untuk mendongkrak lagi semangat Pak Angga. Kami sampai di warung
kira-kira pukul 02.00 dini hari.
Warung |
Track yang menanjak |
Pukul
03.00 kami berhasil ke bibir kawah. Kalau yang ingin ambil foto blue fire-nya Ijen yang melegenda, harus
turun kira-kira 600 meter lagi ke bawah. Syaratnya harus pakai masker. Atau
ingin berburu sunrise, harus jalan
lagi hampir 1,5 km lagi. Saya memutuskan untuk ke sunrise saja waktu itu. Melihat antrian orang yang turun ke arah blue fire, saya rasa pasti akan sangat
mengganggu proses foto saya. Dan benar. Setelah hari sudah terang, antrian
mengular terlihat jelas dari atas.
2386 mdpl |
Walaupun saya gagal juga sih untuk ambil sunrise. Menurut guide, waktu yang tepat untuk ambil sunrise itu bulan Juni atau Juli. Jadi matahari tidak tertutup
gunung. Timelapse juga gagal saya
ambil. Karena battery hp tinggal 20%
dan kalau ambil dengan kamera pocket, waktunya juga lumayan, 150 menit untuk night sky atau star trails. Akhirnya ya Cuma foto-foto biasa saja. Jujur saya
menyesal betul tidak bawa DSLR malam itu. Gugusan bintang sangat jelas
terlihat. Bahkan samar saya melihat Bima Sakti mengintip dari gelapnya langit
malam itu. Sungguh cantik. Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadzdziban.
Sunrise tertutup sama gunung 😌 |
Ah,
akhirnya saya menemuimu juga, Ijen. Sebagai tanda tunduk saya kepada Sang
Pemberi Hidup, Tuhan Semesta Alam, saya menghirup oksigen pagi itu dalam-dalam.
Lalu mengabadikan diri saya bersama ciptaan yang tiada duanya ini.
Peci Maiyah 😁 |
Pukul 05.30 kami turun. Mampir ke warung
sebentar untuk nge-mie dan nge-teh, lalu lanjut turun. Ingat, setelah tanjakan
terjal sudah menunggu turunan yang juga terjal. Bukan paha lagi yang terasa
lelah, lutut juga dipaksa untuk menahan berat badan kami. Tapi disitu juga saya
mulai percaya, bahwa kegantengan atau kecantikan seseorang itu memang karena turunan,
bukan tanjakan.
Saran
saya kalau ke Ijen, minimal pakai sepatu yang grip-nya cocok untuk jalanan pasir berkerikil seperti Ijen ini.
Rasanya saya tidak perlu untuk menunjukkan peta serta rute bagaimana untuk naik
ke Ijen, sudah banyak blog serta web yang menyediakan untuk anda.
Bagi yang khawatir tidak kuat untuk naik ke Ijen, siapkan uang lebih aja. Karena di sana sudah ada jasa gerobak manusia. Tarifnya terakhir kemarin Rp 650.000 untuk PP.
Pengguna jasa gerobak |
Gerobak standby di puncak Ijen |
Terimakasih sudah mampir.
Assalamualaikum.
Credit scene:
Tarif masuk ke kawah Ijen |
Komentar
Posting Komentar